menghilangkan mitos tentang customer service - 4 Fakta Untuk Menghilangkan Mitos Tentang Customer Service

4 Fakta Untuk Menghilangkan Mitos Tentang Customer Service

Share on:

Ditulis oleh Sabine Harnau pada 19 Agustus 2018
Source: Freshdesk Blog

weefer – Setiap organisasi mempunyai bagian dengan fungsi yang berbeda-beda, seperti marketing, sales, produksi, customer support, dll. Pada perusahaan kecil, pemiliknya menjalankan sendiri tugas-tugas tersebut. Seiring berkembangnya sebuah perusahaan, anggota tim yang berbeda akan menjalankan tugas dan fungsi masing-masing. Namun, tugas customer service dipisahkan dari pembahasan ini karena seringkali tidak dapat dikerjakan tanpa bantuan tim lain.

Mitos yang tidak benar dapat merusak citra profesional seorang customer service. Mitos tersebut membuat kebingungan bagi orang yang akan memulai suatu perusahaan, apakah suatu perusahaan startup cukup dengan mempekerjakan support representative saja, atau tetap menggunakan customer service dalam management perusahaan mereka.

Maka, sekarang adalah waktunya untuk menghilangkan prasangka terhadap beberapa mitos meliputi kualitas customer service.

Mitos #1: Sikap Customer Service

Sikap baik dari customer service tidak menjamin tanggapan yang baik pula dari seorang customer. Hal tersebut bahkan tidak menjamin dapat memenuhi kebutuhan customer dan kebutuhan organisasi Anda. Selain itu, customer service yang sudah profesional pun tampak tidak setuju ketika diminta untuk mengukur kualitas customer service itu sendiri.

Untuk mencapai hasil yang lebih baik, customer service harus fokus terhadap customer. Hal itu akan lebih baik lagi jika dibantu dengan kemudahan teknologi, struktur tim yang jelas, pemberdayaan manajemen perusahaan, serta perencanaan misi perusahaan.   

Mitos #2: Tim Customer Service Bertanggung Jawab untuk Memperbaiki Masalah

Sebenarnya mudah untuk menganggap call center hanya sebagai penampung pertanyaan dari customer dan memperlakukan tim customer support sebagai departemen mandiri, maka masalah pun terpecahkan.

Faktanya, masalah yang terselesaikan dengan baik merupakan kerjasama beberapa tim. Karena perlu dipahami bahwa customer service adalah proaktif dan reaktif, serta preventif dan remedial.  

Contohnya, bayangkan tim marketing terlalu berlebihan dalam berbicara mengenai keunggulan produk. Dampaknya, customer mungkin akan mengeluh bila produk tersebut tidak sesuai dengan yang telah dijanjikan.

Tim customer service pasti akan menjadi kontak pertama yang akan menerima keluhan tersebut. Lalu, penasihat yang terampil akan mendengar keluhan customer, berempati dengan mereka, dan menemukan solusi untuk memperbaiki hubungan antara customer dan customer service. Namun, itu saja tidak cukup.

Tindakan yang tepat bagi tim customer service adalah mengumpulkan saran dari customer dan kemudian berkolaborasi dengan tim marketing untuk menghindari komplain yang sama. Atau kedua tim tersebut berdiskusi dengan customer untuk melakukan refund.

Pada beberapa perusahaan, proses refund dilakukan dengan mengirimkan official-email atau warehouse, kemudian bekerja sama dengan tim admin back-office dan keuangan agar refund dapat diproses. Bahkan, tim lain akan dilibatkan untuk melakukan update website dan email. Padahal, kerjasama beberapa tim untuk memecahkan masalah ini tidak akan terlalu berpengaruh terhadap masa depan perusahaan.     

Dalam banyak skenario, customer service tidak bekerja tanpa berkolaborasi bersama tim lain. Hal ini membuat banyak organisasi bertanya, “bagaimana kami bisa menyenangkan customer kami?”

Mitos #3: Melayani Customer adalah Tugas Entry Level

Pada saat menulis, 88% dari peluang customer global yang terdaftar pada Indeed.com adalah peran-peran entry level:

menghilangkan mitos tentang customer service - Ketidakseimbangan customer sevice akibat terjadinya peningkatan angka pada entry level.

Ketidakseimbangan tersebut menggambarkan salah satu kekeliruan terbesar yang terjadi pada customer service.

Seharusnya, customer service ditangani oleh Level Senior. Karena menjalankan budaya “Pelanggan adalah Raja” yang berkembang bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan secara spontan.

Contohnya, CEO dengan gaya kepemimpinan tradisional tidak akan membentuk tim support representative dan menggunakan platform yang menyediakan support dan ticketing. Dan jika sebuah organisasi terus berpikir bahwa support representative sebagai level terendah dalam sebuah organisasi, bagaimana mungkin support representative tersebut dapat berkembang?  

Jika customer service merupakan suara yang harus didengar, maka dibutuhkan representatif yang dapat bertatap muka langsung dengan customer. Pergeseran budaya tersebut harus diturunkan dari seorang pemimpin sampai urutan terbawah pada sebuah organisasi.

Anehnya, eksekutif Level Senior sudah mengetahui hal ini. Bahkan pada tahun 2016, Deloitte menemukan bahwa perusahaan yang berusaha untuk meningkatkan fokus mereka pada customer mengubah struktur mereka untuk mendukung kolaborasi yang lebih spesifik: 92% dari eksekutif yang disurvei membuat desain organisasi sebagai prioritas utama mereka, dan 45% dari mereka telah melakukan struktur ulang atau masih berencana untuk melakukannya.

Jadi, jika mereka telah paham mengapa customer service seringkali tidak mendapat perhatian, kita dapat menyalahkan 4 mitos untuk situasi ini.  

Mitos #4: Organisasi Anda Harus Tahu Bagaimana Memberikan Customer Service yang Terbaik.

Customer service telah ada sejak bisnis pertama kali terbentuk. Bahkan, kemungkinan rekaman komplain tertua dari seorang customer telah ada sejak 1750 SM. Jadi, dapat dipahami mengapa mitos-mitos ini dipercaya banyak orang.

Namun, dunia telah berubah kira-kira sejak 4000 tahun terakhir. Kita tidak hanya beralih dari penggunaan papan dari tanah liat untuk menulis. Bahkan, customer saat ini mengharapkan pengalaman yang mulus, percakapan langsung melalui telepon dengan customer service, sedikit melakukan interaksi face-to-face, dan segala sesuatu yang dilakukan dengan cepat.  

Sebagian besar organisasi tidak tahu bagaimana cara beralih ke struktur yang mampu memberikan pengalaman yang baik pada customer. Dalam laporan yang dikutip di atas, Deloitte menemukan bahwa hanya 14% pemimpin bisnis yang menganggap perusahaan mereka siap untuk mendesain ulang cara kerja mereka. Namun, hanya sekitar 1 dari 5 yang menyatakan percaya diri untuk membentuk tim yang dapat melakukan tugas dan fungsi yang berbeda-beda (cross-functional team), dan hampir 90% organisasi mengindikasikan bahwa mereka tidak memahami kolaborasi dalam sistem tersebut.

Saat beralih menjadi tim dengan sistem yang disebutkan di atas, perubahan manajemen yang terjadi seringkali diremehkan.   

Menurut William Bridges, merubah sebuah struktur tidak sesederhana memperkenalkan struktur organisasi yang baru. Misalnya, seperti perubahan eksternal tidak sama dengan kebutuhan perubahan internal. Pelatih tim Award-winning, Dorit Noble, membahas hal ini lebih jauh lagi. Dia merekomendasikan pemikiran tentang perubahan sebagai batas antara cara baru dan cara lama dalam melakukan sesuatu. Sebagian orang akan melompati batas tersebut, sebagiannya lagi akan menolak untuk berada di antara batas tersebut karena tidak puas. Hal ini dianggap seperti krisis identitas. Akan tetapi, hal tersebut merupakan esensi dalam menciptakan masa kritis untuk perubahan menuju kesuksesan.

Share on:

Author

Master Admin

Categories: (1)

Freshdesk
To the top
email-subscribe

Subscribe untuk mendapatkan Tips Terkini untuk Keberhasilan Transformasi Digital Anda!