“Indonesia has the highest growth rate in Southeast Asia, with its digital consumer population growing from 144 million in 2020 to 165 million in 2021.” — Facebook & Bain Company, Southeast Asia, the home for digital transformation reports.
Pandemi benar-benar membuat semua pengelolaan bisnis ritel skala apapun mengerutkan dahinya. Mereka harus memutar otak untuk mencari cara agar tetap bisa beroperasi meskipun ada berbagai pembatasan. Seiring berjalannya waktu, pembatasan ini memang mulai dilonggarkan, namun pembatasan semacam ini pasti akan terus memberikan efek kedepannya. Oke, sebelum masuk lebih dalam, mari mengenal landscapenya terlebih dahulu
WTalk #4: Kondisi dan Pengelolaan Bisnis Ritel Besar dan Ritel Kecil Indonesia
Kita mulai diskusi atau obrolan ini dengan membahas ritel berskala besar dulu. Anda tahu Metro department store? Menurut Deloitte Southeast Asia, salah satu department store asal Indonesia (yang juga punya 2 cabang di Singapore) ini tetap bisa bertahan di masa pandemi. Berbagai faktor mempengaruhi ketahanan perusahaan ini, tentu ada proses “pengecilan” gerai (dengan cara mengurangi karyawan), namun yang menjadi catatan adalah poin pemanfaatan teknologi digital dan kemampuan specialty storenya.
Apakah cuma Metro saja? Tidak, ada beberapa department store lain yang masih bisa bertahan selama pandemi seperti SOGO dan Ramayana. Hmm… bagaimana dengan tipe Hypermart seperti Giant dan lainnya? Menurut sumber yang sama mereka lebih susah bertahan, meskipun sudah menggunakan “teknik pertahanan” tersebut. Oke kita sidetrack sebentar untuk memberikan penjelasan secara sederhananya.
Berdasarkan Tipe Department Storenya
Tipe hypermart dan tipe specialty store memiliki perbedaan. Kalau hypermart, kemungkinan besar, sumber pemasukannya melalui penjualan groceriesnya. Di sisi lain, tipe specialty store memiliki beberapa sumber pemasukan karena di dalamnya ada brand yang berdiri sendiri. Jadi, suatu department store bertipe specialty store ini memiliki toko kecil lagi di dalamnya, seperti Watsons, Gramedia, Uniqlo, H&M, dan lainnya, hal ini tentu lebih menarik pelanggan.
Kenapa baru sekarang cenderung lebih menarik?
Karena perubahan pola konsumsi masyarakat kelas menengah dan atas, setidaknya inilah alasannya menurut salah satu perwakilan Nielsen Indonesia, Wiwy Sasongko. Begini penjelasan sederhananya.
Mayoritas dari kedua kelas masyarakat itu, sebelum pandemi, selalu membeli kebutuhan pokok sebulan sekali di hypermart. Namun, saat pandemi, mereka cenderung hanya beli kebutuhan pokok secara harian atau mingguan di toko groceries terdekat. Mereka melakukan itu karena groceries di hypermart cenderung lebih banyak dikunjungi orang sehingga kemungkinan “terpapar” lebih tinggi.
“Kekosongan” inilah yang bisa diambil alih oleh tipe specialty store. Kesimpulannya, specialty store dan hypermart sama-sama “berdarah”, namun hypermart lebih “berdarah.”
Terus bagaimana tentang unsur digitalnya? Tenang, untuk penjelasan bagian digital ada di bagian bawah. Sekali lagi kita fokus ke kondisi terlebih dahulu.
WTalk #4: Pengelolaan Bisnis Ritel Kecil Indonesia, Bagaimana?
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey pernah bilang bahwa daya beli masyarakat ke ritel besar itu masih belum pulih. Sedangkan, daya beli masyarakat ke ritel kecil cenderung stagnan, kata Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun.
Stagnan bukan berarti pengelolaannya harus bersantai-santai. Salah satu cara agar tetap bertahan selama pandemi adalah melakukan pengelolaan bisnis ritel berbasis digital. Bapak Ingratubun mengingatkan bahwa dari 64 juta populasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) termasuk ritel kecil di Indonesia, hanya 13% yang sudah ikut digital. 87% sisanya masih menggunakan cara non-digital.
Tantangan untuk “memperkenalkan” pengelolaan bisnis ritel digital, atau setidaknya go online terlebih dahulu, untuk para UMKM dan ritel kecil tentu ada dan tidak mudah untuk diselesaikan. Infrastruktur yang belum memadai adalah tantangan dasar. Tantangan yang agak bercabang diatasnya, biasanya adalah budaya dan ciri khas. Kita mungkin sebaiknya memahami kalau UMKM ini cenderung bersifat sesuai daerahnya. Kadang ada UMKM yang kalau terpapar perubahan modern itu senang, kadang juga ada UMKM yang tidak mau berubah karena usahanya sudah turun temurun dari generasi sebelumnya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal bilang kalau ini adalah salah satu tugas kita, termasuk pemangku kebijakan ekonomi, untuk mensosialisasikan transformasi digital ke UMKM dan ritel lokal agar ketimpangannya dengan ritel besar modern tidak terlalu lebar.
Teten Masduki, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM), pernah juga bilang kalau UMKM dan ritel kecil juga harus “diselamatkan”. Mereka berdua berkontribusi besar dalam PDB Indonesia, yaitu sebesar 61%.
WTalk #4: Pengelolaan Bisnis Ritel Masih Tetap Memiliki Tantangan Transformasi Digital
Untuk Informasi.
Menurut Google, Temasek, dan Bain Company dalam reportnya yang berjudul e-Conomy Southeast Asia 2020, saat pandemi, pasar e-commerce Asia Tenggara tumbuh hampir dua kali lipat dari 38 miliar USD menjadi 62 miliar USD. Dan akan diproyeksikan terus naik hingga 172 miliar USD pada tahun 2025.
Di report yang sama menunjukkan kalau ada rata-rata 40 juta pengguna internet baru di Southeast Asia, dan Indonesia menduduki peringkat ke 2 dalam rate pengguna internet baru, setelah Vietnam.
Itu. Besar. Sekali.
Di momen inilah, Indonesia sebaiknya memanfaatkan potensinya. Namun, easier said than done.
Untuk masalah digital, ini masalah yang sangat tricky. Ada kemungkinan keberuntungan di poin ini. Tapi kita tidak akan membahas itu karena terlalu abstract.
Coba Anda jawab pertanyaan ini: Apakah “Go Online” itu sudah termasuk transformasi digital?
Jawabannya iya… dan tidak. Digital itu tidak sekedar “go online.” Online hanyalah sebuah pintu masuk. Masih banyak hal lainnya yang harus dikerjakan selain sekedar go online. Anda harus memikirkan teknik digital marketing, logistik, metrics kepuasan pelanggan, kesejahteraan karyawan, dan masih banyak lainnya. Di sinilah, ritel besar maupun ritel kecil harus gambling. Mereka harus tahu dan bertaruh, strategi digital mana yang sesuai dengan mereka plus pelanggannya.
Akses internet yang semakin mudah membuat pelanggan ingin sesuatu yang lebih. Bahkan, 46% millennials mau membayar lebih asalkan paketnya datang di hari yang sama. Sampai titik ini, kita bisa menyimpulkan kalau customer-sentris adalah salah satu problem besar transformasi digital dari ritel kecil maupun ritel besar.
Sampai titik ini, Anda bisa menyimpulkan kalau ada beberapa pain points atau tantangan transformasi digital bagi ritel kecil maupun besar. Tantangan tersebut adalah:
- Masih banyak UMKM dan ritel kecil yang belum masuk ke digital
- Keterbatasan kemampuan customer service yang disediakan perusahaan untuk pelanggan
- Keterbatasan kemampuan untuk memonitor dan menganalisa metrics pelanggan
- Culture Shock yang terjadi saat pemantauan dan penilaian kinerja secara online untuk tim sales, marketing dan customer service
- Pelanggan ingin dilayani secara maksimal selama 24/7.
Tentu, setiap ritel punya tantangan khasnya tersendiri, namun setidaknya, daftar tantangan di atas adalah yang mayoritas ritel akan rasakan saat mau menginjakkan kaki ke dunia digital.
Oke…. jadi apa solusi dari tantangan tersebut? Solusinya bisa anda dapatkan di event ngobrol santai kami WTalk #4 – Switching Up Conventional ritel into Digital. Anda nantinya akan mendapat beberapa insights baru mengenai pengelolaan bisnis ritel saat pandemi dari beberapa pakar yang ikut ngobrol di event ini. Ingat, ini bukan ngobrol online biasa. Ini ngobrol online luar biasa karena kami juga akan mengirimi Anda secangkir kopi hangat.
Ngobrol online santai membahas pengelolaan bisnis ritel selama pandemi bersama para pakar plus kiriman secangkir hangat? Hanya ada di WTalk by Weefer.
Tertarik? Silakan klik banner di bawah ini untuk mulai mendaftar.