tarif pph badan

Tarif PPh Badan Terbaru, Rumus, dan Cara Menghitungnya

Share on:

Tarif PPh badan yang sering dianggap kompleks ternyata tidak seseram yang dibayangkan. Meskipun demikian, pemahaman yang komprehensif tetap diperlukan untuk mengoptimalkan pengelolaan pajak perusahaan. 

Kabar baiknya, terdapat beberapa strategi legal yang dapat dimanfaatkan untuk meminimalkan beban pajak secara signifikan.

Tahun 2024 membawa angin segar sekaligus tantangan baru bagi para pelaku bisnis di Indonesia. Salah satu perubahan paling krusial terletak pada tarif PPh (Pajak Penghasilan) badan yang mengalami penyesuaian signifikan. 

Bagi perusahaan, perubahan ini bisa menjadi pisau bermata dua: peluang untuk menghemat pajak atau potensi beban finansial yang membengkak.

Jangan biarkan ketidaktahuan menjadi bumerang bagi perusahaan Anda. Pahami dengan detail perubahan tarif PPh badan terbaru agar Anda bisa mengambil langkah strategis yang tepat. Kami hadir untuk membantu Anda mengurai benang kusut perpajakan ini. 

Dalam artikel ini, kami akan mengupas tuntas setiap perubahan, menyajikan simulasi perhitungan yang mudah dipahami, serta memberikan tips-tips jitu yang bisa langsung Anda terapkan untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan.

Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Badan

Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Badan

PPh badan, atau Pajak Penghasilan badan, adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh suatu badan usaha dalam satu tahun pajak. Badan usaha yang dimaksud meliputi perseroan terbatas (PT), firma, koperasi, yayasan, dan bentuk badan usaha lainnya.

PPh badan dikenakan atas penghasilan kena pajak, yaitu selisih antara penghasilan bruto dengan biaya-biaya yang diperbolehkan sebagai pengurang pajak. Tarif PPh badan di Indonesia bersifat progresif, artinya semakin besar penghasilan kena pajak, semakin tinggi tarif pajaknya.

PPh badan merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang penting dan digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan. Selain itu, PPh badan juga bertujuan untuk menciptakan keadilan dalam sistem perpajakan, di mana badan usaha yang memiliki penghasilan lebih besar diharapkan berkontribusi lebih banyak kepada negara.

Dasar Hukum Penerapan PPh Badan

Dasar hukum Pajak Penghasilan (PPh) Badan di Indonesia merupakan kombinasi dari berbagai peraturan perundang-undangan yang saling melengkapi. Pemahaman mendalam mengenai dasar hukum ini sangat penting bagi wajib pajak badan untuk memastikan kepatuhan pajak dan menghindari sanksi.

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh)

UU PPh adalah fondasi utama pengaturan PPh Badan di Indonesia. UU ini mendefinisikan subjek pajak (siapa yang dikenai pajak), objek pajak (apa yang dikenai pajak), tarif pajak, serta mekanisme penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak.

Sebagai contoh, Pasal 2 ayat (1) UU PPh menjelaskan bahwa subjek pajak badan adalah badan usaha yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu yang diatur secara khusus. Objek pajak badan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak, baik dari Indonesia maupun luar Indonesia.

UU PPh juga mengatur berbagai jenis penghasilan yang menjadi objek pajak, seperti penghasilan dari usaha, penghasilan dari pekerjaan bebas, penghasilan dari modal, dan penghasilan lain-lain.

2. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

UU ini memperkenalkan rezim PPh Final bagi wajib pajak badan tertentu dengan peredaran bruto di bawah Rp50 miliar. PPh Final adalah pajak yang bersifat final, di mana wajib pajak tidak perlu menghitung PPh terutang berdasarkan tarif umum, tetapi cukup membayar pajak sesuai tarif yang ditetapkan dalam UU ini.

Tujuan dari PPh Final adalah untuk menyederhanakan administrasi perpajakan bagi wajib pajak badan kecil dan menengah, serta mendorong kepatuhan pajak.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan

PP 55/2022 menggantikan PP 23/2018 dan mengatur lebih lanjut mengenai PPh Final bagi wajib pajak badan tertentu dengan peredaran bruto di bawah Rp50 miliar. Peraturan ini memberikan penjelasan lebih rinci mengenai kriteria wajib pajak yang dapat menggunakan PPh Final, tarif pajak, serta tata cara penghitungan dan pembayaran pajak.

4. Peraturan Pelaksana Lainnya

Selain peraturan-peraturan di atas, terdapat juga berbagai peraturan pelaksana lain yang mengatur PPh Badan, seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE), dan putusan pengadilan pajak.

PMK umumnya mengatur aspek teknis dari pelaksanaan UU PPh, seperti bentuk dan tata cara penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), tata cara pemotongan dan pemungutan pajak, serta tata cara pemeriksaan pajak.

SE memberikan penjelasan dan interpretasi lebih lanjut mengenai ketentuan-ketentuan dalam UU PPh dan peraturan pelaksana lainnya. SE seringkali diterbitkan untuk merespons perkembangan terbaru di bidang perpajakan atau untuk memberikan klarifikasi atas isu-isu yang belum jelas.

Putusan pengadilan pajak dapat menjadi referensi dalam memahami dan menerapkan ketentuan PPh Badan, terutama dalam hal-hal yang belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan atau terdapat perbedaan interpretasi antara wajib pajak dan otoritas pajak.

Siapa Wajib Pajak Badan?

Wajib Pajak Badan adalah badan usaha atau entitas yang memiliki kewajiban untuk membayar pajak penghasilan (PPh) badan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia.

Berikut adalah beberapa jenis entitas yang termasuk dalam kategori Wajib Pajak Badan:

  • Badan Usaha yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia:

      • Perseroan Terbatas (PT)
      • Koperasi
      • Yayasan
      • Firma
      • Persekutuan Komanditer (CV)
      • Persekutuan Perdata
      • Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
      • Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
  • Bentuk Usaha Tetap (BUT):

      • Kantor perwakilan perusahaan asing yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia.
      • Cabang perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
  • Joint Operation (JO):

      • Kerja sama operasi antara dua atau lebih badan usaha untuk melaksanakan suatu proyek atau kegiatan tertentu.
  • Badan Usaha yang tidak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, tetapi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia:

    • Perusahaan asing yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT.
    • Perusahaan asing yang menerima penghasilan dari investasi di Indonesia (misalnya dividen, bunga, royalti).

Penting untuk dicatat bahwa tidak semua badan usaha otomatis menjadi Wajib Pajak Badan. Beberapa badan usaha, seperti yayasan atau organisasi nirlaba tertentu, mungkin mendapatkan pengecualian atau perlakuan khusus dalam hal perpajakan.

Untuk mengetahui status Wajib Pajak Badan dan kewajiban perpajakan yang terkait, sebaiknya berkonsultasi dengan ahli pajak atau otoritas pajak yang berwenang.

Jenis Pajak Penghasilan Badan

Pajak Penghasilan (PPh) badan di Indonesia terbagi menjadi dua jenis berdasarkan perhitungan dan tarifnya, yaitu PPh Badan Final dan PPh Badan Tidak Final.

1. PPh Badan Final

PPh Badan Final adalah jenis PPh yang dikenakan dengan tarif tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Wajib pajak badan yang termasuk dalam kategori ini tidak perlu menghitung PPh terutang berdasarkan tarif umum, melainkan langsung membayar pajak sesuai tarif yang ditetapkan.

Karakteristik PPh Badan Final:

  • Tarif Tetap: Tarif PPh Badan Final sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan tidak berubah-ubah.
  • Tidak Perlu Menghitung PPh Terutang: Wajib pajak badan cukup membayar pajak sesuai tarif yang ditetapkan tanpa perlu menghitung PPh terutang berdasarkan tarif umum.
  • Final: Pajak yang telah dibayar bersifat final dan tidak dapat diperhitungkan kembali atau dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.

Contoh PPh Badan Final:

  • PPh Final UMKM: PPh Final dengan tarif 0,5% dari peredaran bruto bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan peredaran bruto tertentu.
  • PPh Final atas Penghasilan Tertentu: PPh Final atas penghasilan tertentu seperti bunga deposito, hadiah undian, atau penghasilan dari transaksi saham di bursa efek.

2. PPh Badan Tidak Final

PPh Badan Tidak Final adalah jenis PPh yang dikenakan dengan tarif umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Wajib pajak badan yang termasuk dalam kategori ini harus menghitung PPh terutang berdasarkan tarif umum yang berlaku.

Karakteristik PPh Badan Tidak Final:

  • Tarif Umum: Tarif PPh Badan Tidak Final mengacu pada tarif umum yang berlaku dan dapat berubah-ubah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Perlu Menghitung PPh Terutang: Wajib pajak badan harus menghitung PPh terutang berdasarkan tarif umum yang berlaku.
  • Tidak Final: Pajak yang telah dibayar dapat diperhitungkan kembali atau dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.

Contoh PPh Badan Tidak Final:

  • PPh Badan Umum: PPh Badan dengan tarif umum yang berlaku untuk wajib pajak badan yang tidak termasuk dalam kategori PPh Badan Final.

Penting untuk memahami perbedaan antara PPh Badan Final dan PPh Badan Tidak Final agar wajib pajak badan dapat menghitung dan membayar pajak dengan benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut, disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli pajak atau otoritas pajak yang berwenang.

Subjek PPh Badan

Subjek Pajak Penghasilan (PPh) badan di Indonesia merujuk pada entitas atau badan usaha yang memiliki kewajiban untuk membayar PPh badan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pemahaman mengenai subjek PPh badan ini sangat penting bagi badan usaha untuk memastikan kepatuhan pajak dan menghindari sanksi.

1. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri

Subjek pajak badan dalam negeri adalah badan usaha yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Badan usaha ini memiliki kewajiban untuk membayar PPh badan atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.

Contoh subjek pajak badan dalam negeri:

  • Perseroan Terbatas (PT): Bentuk badan usaha yang modalnya terbagi dalam saham dan pemegang saham memiliki tanggung jawab terbatas.
  • Koperasi: Badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.
  • Yayasan: Badan hukum yang tidak memiliki anggota dan didirikan dengan tujuan sosial, keagamaan, atau kemanusiaan.
  • Firma: Badan usaha yang didirikan oleh dua orang atau lebih dengan nama bersama dan setiap anggota bertanggung jawab penuh atas utang-utang firma.
  • Persekutuan Komanditer (CV): Badan usaha yang terdiri dari sekutu komplementer (bertanggung jawab penuh) dan sekutu komanditer (bertanggung jawab terbatas).
  • Perusahaan Daerah (PD): Badan usaha milik daerah yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh pemerintah daerah.
  • Badan Usaha Milik Negara (BUMN): Badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
  • Bentuk Usaha Tetap (BUT): Cabang, kantor perwakilan, atau badan usaha lain milik orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi melakukan kegiatan usaha di Indonesia.

Pengecualian:

Beberapa unit badan pemerintah yang memenuhi kriteria tertentu dikecualikan dari subjek pajak badan dalam negeri. Kriteria tersebut meliputi:

  • Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Pendanaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
  • Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran.
  • Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

2. Subjek Pajak Badan Luar Negeri

Subjek pajak badan luar negeri adalah badan usaha yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, tetapi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia atau menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Contoh subjek pajak badan luar negeri:

  • Perusahaan asing yang memiliki kantor perwakilan atau cabang di Indonesia: Perusahaan ini menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia dan wajib membayar PPh badan atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan tersebut.
  • Perusahaan asing yang menerima dividen, bunga, atau royalti dari Indonesia: Perusahaan ini menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan wajib membayar PPh badan atas penghasilan tersebut, meskipun tidak memiliki BUT di Indonesia.

Pentingnya Memahami Subjek PPh Badan

Pemahaman mengenai subjek PPh badan sangat penting bagi badan usaha untuk memastikan kepatuhan pajak dan menghindari sanksi. Badan usaha yang memenuhi kriteria sebagai subjek PPh badan wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), melaporkan SPT Tahunan PPh Badan, dan membayar PPh badan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Objek PPh Badan

Objek Pajak Penghasilan (PPh) badan merupakan penghasilan yang menjadi dasar pengenaan pajak bagi wajib pajak badan dalam suatu Tahun Pajak. Penghasilan ini dapat berasal dari berbagai sumber, baik yang diperoleh di dalam negeri maupun di luar negeri.

Berikut adalah penjelasan rinci mengenai objek PPh badan:

1. Penghasilan dari Usaha atau Kegiatan:

  • Laba Usaha: Ini adalah penghasilan utama yang diperoleh dari kegiatan operasional perusahaan, seperti penjualan produk atau jasa, pendapatan dari sewa atau penggunaan aset, serta keuntungan dari investasi. Contohnya, laba yang diperoleh dari penjualan sepatu oleh sebuah pabrik sepatu atau pendapatan dari penyewaan gedung perkantoran.
  • Penghasilan dari Royalti, Hak Cipta, atau Hak Paten: Penghasilan yang diperoleh dari pemberian izin penggunaan hak atas kekayaan intelektual seperti royalti dari penggunaan merek dagang, hak cipta atas karya seni atau musik, dan hak paten atas penemuan teknologi.
  • Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta: Keuntungan yang diperoleh dari penjualan atau pengalihan harta perusahaan, seperti penjualan tanah, bangunan, mesin, atau kendaraan.

2. Penghasilan dari Modal:

  • Dividen: Bagian laba perusahaan yang dibagikan kepada pemegang saham sebagai imbalan atas investasi mereka.
  • Bunga: Imbalan yang diterima atas pinjaman uang atau simpanan di bank atau lembaga keuangan lainnya. Contohnya, bunga yang diterima dari deposito berjangka atau obligasi pemerintah.
  • Keuntungan dari Penjualan Saham atau Obligasi: Selisih antara harga jual dan harga beli saham atau obligasi yang diperdagangkan di pasar modal.

3. Penghasilan Lain-lain:

  • Hadiah atau Penghargaan: Penghargaan yang diterima atas prestasi atau kontribusi tertentu, baik berupa uang tunai maupun barang. Misalnya, hadiah uang tunai yang diterima oleh perusahaan atas keberhasilannya dalam suatu kompetisi bisnis.
  • Penggantian atau Imbalan: Pembayaran yang diterima atas jasa atau pekerjaan yang dilakukan, seperti komisi penjualan, fee profesional, atau honorarium konsultan.
  • Warisan atau Hibah: Harta atau aset yang diterima secara cuma-cuma dari pewaris atau pemberi hibah.

Selain itu, terdapat beberapa jenis penghasilan lain yang juga termasuk dalam objek PPh badan, seperti:

  • Keuntungan karena Pengalihan Harta kepada Pemegang Saham: Keuntungan yang diperoleh dari pengalihan harta perusahaan kepada pemegang saham sebagai pengganti saham atau sebagai dividen.
  • Keuntungan karena Likuidasi, Penggabungan, atau Peleburan Usaha: Keuntungan yang diperoleh dari proses likuidasi (pembubaran), penggabungan, atau peleburan usaha.
  • Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT): Penghasilan yang diperoleh dari kegiatan usaha yang dilakukan melalui BUT di Indonesia.

Penting untuk diingat bahwa beberapa jenis penghasilan tertentu mungkin dikecualikan dari objek PPh badan atau dikenakan tarif PPh yang berbeda berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Contohnya, penghasilan dari kegiatan usaha tertentu yang mendapatkan fasilitas pembebasan atau pengurangan PPh badan.

Untuk memastikan kepatuhan pajak dan menghindari sanksi, wajib pajak badan perlu memahami secara menyeluruh mengenai objek PPh badan dan ketentuan perpajakan yang terkait.

Tarif PPh Badan Terbaru

Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan di Indonesia saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tarif ini berlaku sejak Tahun Pajak 2022 dan mengalami beberapa perubahan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Tarif Umum PPh Badan:

Tarif umum PPh Badan yang berlaku saat ini adalah 22% dari Penghasilan Kena Pajak (PKP). Artinya, setiap wajib pajak badan di Indonesia, baik yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Yayasan, Firma, atau bentuk badan usaha lainnya, akan dikenakan tarif sebesar 22% dari penghasilan kena pajak mereka.

Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah penghasilan neto setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang diperbolehkan menurut ketentuan perpajakan. Biaya-biaya yang diperbolehkan antara lain biaya produksi, biaya pemasaran, biaya administrasi, dan biaya penyusutan.

Tarif Khusus PPh Badan:

Selain tarif umum, terdapat juga beberapa tarif khusus PPh Badan yang berlaku untuk kondisi tertentu:

  • Tarif PPh Badan Lebih Rendah untuk Perusahaan Terbuka:

Wajib Pajak Badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka (Tbk), dengan kepemilikan saham publik minimal 40% dan memenuhi persyaratan tertentu, berhak mendapatkan tarif PPh Badan sebesar 19%. Tarif ini memberikan insentif bagi perusahaan terbuka untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam pasar modal.

  • PPh Final UMKM:

Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan peredaran bruto tertentu, terdapat tarif PPh Final sebesar 0,5% dari peredaran bruto. Tarif ini bersifat final, artinya wajib pajak UMKM tidak perlu lagi menghitung PPh terutang berdasarkan tarif umum. Tarif PPh Final UMKM ini bertujuan untuk meringankan beban pajak bagi UMKM dan mendorong pertumbuhan sektor usaha kecil dan menengah.

  • PPh Final atas Penghasilan Tertentu:

Beberapa jenis penghasilan tertentu dikenakan PPh Final dengan tarif yang bervariasi. Misalnya:

  • Bunga Deposito: Dikenakan PPh Final sebesar 20%.
  • Hadiah Undian: Dikenakan PPh Final sebesar 25%.
  • Penghasilan dari Transaksi Saham di Bursa Efek: Dikenakan PPh Final sebesar 0,1% dari nilai transaksi jual.

Tarif PPh Final atas penghasilan tertentu ini bertujuan untuk menyederhanakan administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Perlu Diingat:

  • Tarif PPh Badan dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kebijakan pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, penting bagi wajib pajak badan untuk selalu mengikuti perkembangan terbaru terkait peraturan perpajakan.
  • Wajib pajak badan harus memahami ketentuan perpajakan yang berlaku, termasuk tarif PPh Badan, jenis-jenis penghasilan yang dikenakan pajak, serta tata cara penghitungan dan pembayaran pajak. 

Dengan memahami tarif PPh Badan dan ketentuan perpajakan lainnya, wajib pajak badan dapat memastikan kepatuhan pajak dan menghindari sanksi. Selain itu, pemahaman yang baik mengenai peraturan perpajakan juga dapat membantu wajib pajak badan dalam merencanakan dan mengelola keuangan perusahaan secara lebih efektif.

Mekanisme Perhitungan PPh Badan

Mekanisme perhitungan PPh Badan di Indonesia merupakan proses yang cukup kompleks dan melibatkan beberapa tahapan. Memahami mekanisme ini dengan baik sangat penting bagi wajib pajak badan untuk memastikan kepatuhan pajak dan menghindari sanksi. Mari kita telusuri lebih dalam setiap tahapan perhitungan PPh Badan:

1. Menghitung Penghasilan Bruto

Tahap awal ini melibatkan penghitungan menyeluruh atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan dalam satu tahun pajak. Penghasilan ini bisa berasal dari berbagai sumber dan aktivitas, baik yang bersifat operasional maupun non-operasional.

  • Penghasilan Usaha: Penghasilan ini berasal dari kegiatan utama perusahaan, seperti penjualan barang dagangan, jasa, atau produksi. Misalnya, pendapatan dari penjualan pakaian oleh sebuah toko pakaian, pendapatan dari jasa konsultasi oleh sebuah firma konsultan, atau pendapatan dari produksi mobil oleh sebuah pabrik mobil.
  • Penghasilan dari Investasi: Penghasilan ini berasal dari investasi yang dilakukan oleh perusahaan, seperti dividen dari saham, bunga dari deposito atau obligasi, royalti dari hak kekayaan intelektual, atau keuntungan dari penjualan aset investasi.
  • Penghasilan Lain-lain: Penghasilan ini berasal dari sumber-sumber lain di luar kegiatan usaha atau investasi, seperti hadiah, hibah, sumbangan, atau pendapatan dari sewa aset yang tidak digunakan dalam kegiatan usaha.

2. Mengurangi Biaya-Biaya yang Diperbolehkan

Setelah menghitung penghasilan bruto, langkah selanjutnya adalah mengurangi biaya-biaya yang diperbolehkan menurut ketentuan perpajakan. Biaya-biaya ini harus berkaitan langsung dengan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

  • Biaya Produksi: Biaya-biaya yang terkait langsung dengan proses produksi barang atau jasa, seperti biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, biaya overhead pabrik, dan biaya penyusutan mesin produksi.
  • Biaya Pemasaran: Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memasarkan produk atau jasa, seperti biaya iklan, biaya promosi, biaya riset pasar, biaya perjalanan dinas, dan biaya entertainment.
  • Biaya Administrasi: Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan kegiatan administrasi perusahaan, seperti biaya gaji karyawan kantor, biaya sewa kantor, biaya listrik dan air, biaya telepon dan internet, biaya peralatan kantor, dan biaya penyusutan gedung kantor.
  • Biaya Penyusutan: Biaya yang dibebankan atas penggunaan aset tetap perusahaan dalam jangka waktu tertentu, seperti penyusutan gedung, mesin, kendaraan, atau peralatan kantor.
  • Iuran Dana Pensiun: Iuran yang dibayarkan oleh wajib pajak badan kepada dana pensiun yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan untuk kepentingan karyawan.
  • Kerugian Fiskal: Kerugian yang belum dikompensasikan dari tahun-tahun sebelumnya dapat dikompensasikan dengan penghasilan pada tahun berjalan, sehingga mengurangi jumlah PPh yang terutang.

3. Menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Setelah mengurangi biaya-biaya yang diperbolehkan dari penghasilan bruto, kita akan mendapatkan Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP inilah yang menjadi dasar pengenaan PPh Badan.

4. Mengalikan PKP dengan Tarif PPh Badan

PKP kemudian dikalikan dengan tarif PPh Badan yang berlaku. Tarif umum PPh Badan saat ini adalah 22% dari PKP. Namun, untuk wajib pajak badan tertentu, seperti perusahaan terbuka yang memenuhi persyaratan tertentu, berlaku tarif PPh Badan yang lebih rendah, yaitu 19%.

5. Mengurangi Kredit Pajak

PPh Badan yang terutang kemudian dikurangi dengan kredit pajak yang dimiliki wajib pajak badan. Kredit pajak adalah pajak yang telah dibayar di muka oleh wajib pajak badan, baik melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak lain, maupun melalui angsuran PPh Pasal 25.

  • PPh Pasal 21: Pajak yang dipotong oleh perusahaan dari gaji karyawan.
  • PPh Pasal 22: Pajak yang dipungut atas impor barang tertentu.
  • PPh Pasal 23: Pajak yang dipotong atas jasa atau hadiah dan penghargaan.
  • PPh Pasal 25: Pajak yang diangsur oleh wajib pajak badan setiap bulan berdasarkan perkiraan penghasilan kena pajak tahun berjalan.

6. Membayar PPh Badan Terutang

Hasil pengurangan PPh Badan yang terutang dengan kredit pajak adalah jumlah PPh Badan yang masih harus dibayar. Wajib pajak badan harus membayar PPh Badan terutang ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk batas waktu pembayaran dan cara pembayaran yang telah ditetapkan.

Dengan memahami mekanisme perhitungan PPh Badan secara menyeluruh, wajib pajak badan dapat memastikan kepatuhan pajak, menghindari sanksi, dan mengelola keuangan perusahaan dengan lebih baik.

Contoh Hitung Tarif PPh Badan

Baik, mari kita buat contoh perhitungan PPh Badan untuk sebuah perusahaan fiktif bernama PT Maju Jaya.

PT Maju Jaya

PT Maju Jaya adalah sebuah perusahaan manufaktur yang memproduksi dan menjual produk elektronik. Perusahaan ini didirikan dan berlokasi di Indonesia, sehingga masuk dalam kategori Wajib Pajak Badan Dalam Negeri. Pada tahun 2023, PT Maju Jaya memiliki data keuangan sebagai berikut:

  • Penghasilan Bruto: Rp 500.000.000
  • Biaya-biaya yang Diperbolehkan:
    • Biaya produksi: Rp 200.000.000
    • Biaya pemasaran: Rp 50.000.000
    • Biaya administrasi: Rp 30.000.000
    • Biaya penyusutan: Rp 20.000.000
  • Kredit Pajak:
    • PPh Pasal 21: Rp 10.000.000
    • PPh Pasal 23: Rp 5.000.000
    • PPh Pasal 25: Rp 15.000.000

Perhitungan PPh Badan

  1. Penghasilan Neto: Penghasilan Bruto – Biaya-biaya yang Diperbolehkan = Rp 500.000.000 – Rp 300.000.000 = Rp 200.000.000
  2. Penghasilan Kena Pajak (PKP): Karena PT Maju Jaya tidak memiliki penghasilan dari luar negeri dan bukan merupakan BUT, maka PKP sama dengan Penghasilan Neto, yaitu Rp 200.000.000.
  3. PPh Terutang: PKP * Tarif PPh Badan = Rp 200.000.000 * 22% = Rp 44.000.000
  4. PPh yang Harus Dibayar: PPh Terutang – Kredit Pajak = Rp 44.000.000 – Rp 30.000.000 = Rp 14.000.000

Kesimpulan

Berdasarkan perhitungan di atas, PT Maju Jaya harus membayar PPh Badan sebesar Rp14.000.000 untuk tahun pajak 2023.

Catatan:

  • Contoh perhitungan ini menggunakan tarif PPh Badan umum yang berlaku saat ini, yaitu 22%.
  • Perhitungan PPh Badan dapat menjadi lebih kompleks jika terdapat penghasilan dari luar negeri, BUT, atau faktor-faktor lain yang mempengaruhi perhitungan PKP.
  • Untuk perhitungan yang lebih akurat dan sesuai dengan kondisi spesifik perusahaan Anda, disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli pajak atau otoritas pajak yang berwenang.

Penutup

Memahami tarif PPh Badan dan mekanisme perhitungannya adalah langkah awal yang penting dalam memastikan kepatuhan pajak perusahaan Anda. Namun, menghitung PPh 21 karyawan secara manual bisa menjadi tugas yang rumit dan memakan waktu.

Untuk itu, percayakan perhitungan PPh 21 karyawan Anda pada Haermes, software HRIS (Human Resources Information System) yang mampu melakukan perhitungan PPh 21 secara otomatis, akurat, dan efisien. Dengan Haermes, Anda dapat menghemat waktu dan tenaga, serta meminimalisir risiko kesalahan dalam perhitungan pajak.

Jadi, tunggu apa lagi? Segera gunakan Haermes dan rasakan kemudahan dalam mengelola perhitungan PPh 21 karyawan Anda!

Baca Juga: Tarif PPh (Pajak Penghasilan) Badan Terbaru, Jenis & Cara Menghitung

Baca Juga: Pajak Gaji Pekerja 2024 dan Perhitungan PPh 21

Share on:

Author

Mohamad Krisna
To the top

Table of Contents

Home Page
email-subscribe

Subscribe untuk mendapatkan Tips Terkini untuk Keberhasilan Transformasi Digital Anda!